Opini  

Transformasi Spiritual Dalam Puasa, ‘Kesadaran, Kelembutan & Cinta’

Dalam hal ini akan terlihat adanya hubungan antara jiwa dan raga manusia, dimana ketika seseorang melakukan proses penyucian jiwa melalui riyadhah, memerangi hawa nafsu (mujahaddah), dan melepaskan kegiatan dunia untuk semata-mata berbakti kepada Allah, maka akan terjadi proses transformasi diri. Misalnya ketika seseorang sudah berhasil menahan diri dari sifat amarah, maka akan terpancar pada dirinya sifat penyabar. Karena orang lain akan tahu bahwa seseorang itu penyabar dari penampilan dirinya.

Adanya keterkaitan antara jiwa dan raga inilah menjadi enseni dari Transformasi Spiritual. “Transformasi Spiritual dalam puasa adalah kesadaran batin untuk menjadikan hawa nafsu sebagai hal yang harus dikalahkan, dan ke-dzalim-an sebagai hal yang harus ditundukkan”.

Jadikan puasa dan ibadah Ramadhan sebagai proses tranformasi spiritual ihsan yang membentuk keshalehan individual dan keshalehan sosial. Sehingga terwujud tatanan kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Merujuk pada Al-Quran, bagi umat Islam tujuan akhir puasa adalah mencapai takwa ; mengendalikan sikap dan perilaku sehingga terhindar dari perbuatan yang melanggar.

(Yā ayyuhallażīna āmanụ kutiba ‘alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba ‘alallażīna ming qablikum la’allakum tattaqụn). “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Surat Al-Baqarah, Ayat 183).

Nilai-nilai moral adalah salah satu produk penting takwa. Dengan puasa manusia bisa merencanakan untuk membentuk kebiasaan yang mampu mengendalikan diri. Kemampuan ini adalah sebuah jalan menuju kemandirian, kematangan pribadi, dan transformasi spiritual.

Para pejalan Spiritual atau para sufi menteoritisasi puasa laksana misi pendakian gunung seperti yang dilakukan para aktifis lingkungan atau pecinta alam. Ada para pendaki gunung yang terlatih akan dapat mencapai finis di puncak tertinggi. Ada pendaki yang pada setengah perjalanan rasanya telah sampai puncak, karena kurangnya latihan dan bekal, sehingga telah puas di tengah jalan.