Pabrik Minyak Goreng di Bekasi Stop Produksi, 350 Karyawan Dirumahkan

Ilustrasi Minyak Goreng (doc.net)

Markus mengungkapkan, lantaran sudah tiga pekan tidak berproduksi, pihaknya juga tidak bisa melakukan ekspor.

“Kita sebagai bangsa Indonesia benar-benar malu, kredibilitas kita sudah hancur di dunia internasional. Saya tidak bisa ekspor sudah sebulan ini. Buyer-buyer saya di China, Filipina dan di Eropa mau gugat di arbitrase,” katanya.

Markus menegaskan DMO dan DPO ini bermasalah, karena itu ia mengungkapkan ada solusi untuk mengatasi permasalahan langkanya minyak goreng. Dia mengusulkan daripada kebijakan DMO dan DPO, lebih baik pengekspor dikenakan pajak ekspor atau levy.

“Dengan tambahan US$ 20 atas minyak goreng, saya kira pengusaha tidak akan keberatan. Toh ini kan hanya sementara. Kalau misalnya harga CPO (crude palm oil) sudah balik normal lagi, itu bisa dihapus,” katanya.

Secara pelaksanaan pun tidak rumit. Pasalnya persoalan minyak goreng tidak seperti BBM yang dipegang satu pihak, yakni Pertamina untuk distribusinya, sedangkan minyak goreng dipegang lebih dari satu pihak. “Kalau kita mau kontrol satu persatu itu nggak mudah, pemainnya banyak,” ujar Markus.

Markus menegaskan usulan ini hanya untuk pengekspor CPO, sedangkan turunannya tidak dikenakan. “Jadi, jangan semua. kalau semua nanti, waduh, kita malah jadi nggak bersaing di pasar ekspor nanti,” terangnya.

Lebih lanjut, Markus menambahkan, peraturan yang sekarang ada, selain membebani semua pihak, tidak hanya pemain CPO tapi turunannya, juga terdapat aturan menyediakan 20% kebutuhan untuk dalam negeri. Dengan begitu mereka diharuskan menjual dengan harga yang tidak sebanding.

Penulis: Cr/detikEditor: Red